Raja Al-Nu'man dan Seorang Badui

Raja Al-Nu'man dan Seorang Badui

Suatu ketika, Raja Al-Nu’man menunggang Yahnum, kuda hitamnya dan pergi berburu.

Sang raja mengejar beberapa kijang, tapi kudanya lari terlalu cepat hingga tak bisa dikendalikan dan ia terasing dari anak buahnya. Ketika hari mulai gelap dan hujan turun begitu deras, Raja Al-Nu’man mencari tempat berteduh dan melihat sebuah rumah kecil milik seorang Badui bernama Hanzalah.

“Bolehkah aku bermalam di sini?” tanya sang raja.

“Tentu,” jawab Hanzalah yang segera keluar untuk menyambut tamunya.

Lelaki Badui itu telah menikah dan tidak memiliki apa pun kecuali domba betina. Ia tidak tahu jika tamunya adalah seorang raja. Hanzalah berkata kepada istrinya, “Istriku, tamu kita sangat rupawan, dan pasti ia seorang mulia, apa yang harus kita lakukan?”

Istri Badui itu adalah wanita berhati baik; sang istri lalu memandangi suaminya, “Jangan cemas Hanzalah, aku punya sedikit tepung. Sembelihlah domba betina itu sementara aku akan memanggang roti.”

Wanita itu membawa tepung dan memanggang roti, suaminya mendatangi domba betinanya, memerah susunya dan menyembelihnya. Ia memasak dan menyajikan sup dan daging untuk tamunya. Setelah makan malam, ia memberikan susu domba dan topi tidur. Setelah itu mereka berdua menghabiskan malam dengan mengobrol dengan tamunya sampai tertidur.

Ketika Raja Al-Nu’man bangun keesokan paginya, ia mengenakan pakaiannya, naik ke atas kuda dan berkata kepada Hanzalah, “Wahai Badui yang dermawan, mintalah imbalanmu. Aku adalah Raja Al-Nu’man.”

Tercengang namun senang, Hanzalah menjawab, “Hamba pasti akan memintanya, Yang Mulia.”

Tak lama kemudian, sang raja berhasil bertemu dengan anak buahnya dan kembali ke istananya di Hirah.

Tahun-tahun berlalu dan Badui miskin itu ditimpa kemalangan. Suatu hari istrinya mendekatinya dan berkata, “Jika kau menemui raja, ia akan memberi sesuatu yang baik padamu.”

Hanzalah akhirnya pergi ke Hirah. Sialnya, ia datang di hari pertanda buruk Raja Al-Nu’man, yaitu hari di mana ia harus membunuh orang yang ditemuinya. Sang raja berdiri di depan pasukannya menunggu seseorang bernasib buruk yang akan menyerahkan nyawanya.

Saat sang raja melihat lelaki Badui itu, ia segera mengenalinya dan merasa sedih bercampur marah.

“Apakah kau si Badui itu?” tanya raja.

“Ya,” jawab lelaki itu.

“Kenapa kau tak datang di hari yang lain?” tanya raja.

“Yang Mulia, bagaimana hamba tahu apabila hari ini adalah hari pertanda buruk?” jawab badui itu.

“Demi Allah,” kata Raja. “Meskipun Qabus, anakku sendiri menemuiku pada hari ini, aku harus membunuhnya. Katakanlah permintaanmu sebelum kau dibunuh,” lanjut sang raja.

“Wahai raja yang dermawan…….apa yang hamba harapkan di ujung hidup hamba ini?” tanya lelaki Badui itu.

“Tak ada alasan untukmu agar tetap hidup,” ucap raja dengan putus asa.

“Jika Yang Mulia harus membunuh hamba, luangkan hidup hamba sejenak supaya hamba bisa kembali ke keluarga hamba untuk membuat wasiat, mendirikan bisnis dan kemudian kembali menghadap Yang Mulia.”

“Jika demikian, kau harus menemukan seseorang yang mau menjadi jaminanmu,” jawab sang raja.

Badui itu melihat Sharik bin Amr yang sedang berdiri di sisi raja dan memintanya untuk menjadi jaminannya, namun Sharik menolak. Kemudian Badui itu melihat Sa’ad bin Harith yang sedang berdiri di kiri raja dan ia memintanya untuk menjadi jaminannya. Sa’ad juga menolak permintaan itu.

Lelaki Badui itu akhirnya melihat Sahm bin Wa’il yang sedang berdiri di samping kanan raja dan memintanya menjadi jaminan, namun Sahm juga menolak.

Harapan Badui itu seakan terbang. Tapi seorang laki-laki muda dari Kalb bernama Qurad bin Ajda’, tergesa-gesa mendekati raja dan berkata, “Yang Mulia, hamba bersedia menjadi jaminan lelaki Badui ini.”

Sang raja lalu memberi lelaki Badui itu lima ratus ekor unta untuk dibawa pulang kepada keluarganya dan memberinya waktu satu tahun untuk kembali menghadapi kematiannya. Badui itu mengambil unta raja dan berjalan pulang.

Bulan demi bulan berlalu cepat dan tinggal satu hari lagi menuju hari pemenuhan janji; Raja Al-Nu’man menatap Qurad dan berkata, “Lelaki jaminan, nampaknya kau akan dibunuh besok.”

Qurad adalah lelaki muda pemberani. Ia tersenyum kepada raja dan berkata, “Jika matahari tenggelam, esok menjadi sangat dekat bagi yang mengharapkannya.”

Esok paginya, Raja Al-Nu’man membawa senjatanya dan menunggang kudanya. Ia dikelilingi oleh pasukannya dan melewati makam Gharini. Ia memerintahkan agar Qurad dikeluarkan dan dibunuh. Tapi penasihatnya berkata jika pembunuhan ini tidak bisa dilakukan sebab hari belum habis; Raja Al-Nu’man harus menunggu meskipun ia harus membunuh Qurad yang telah meluangkan nyawanya bagi lelaki Badui.

Ketika Qurad berdiri menunggu kematiannya dan sang algojo berdiri di dekatnya, Salma, istri Qurad yang wajahnya secantik bulan purnama, datang ke tempat itu dan meratap dengan pahit menghadapi suaminya. Tanpa memperhatikannya, raja berhati batu itu bersikeras untuk membunuh suaminya segera setelah matahari terbenam di balik bukit.

Sejenak kemudian, dari kejauhan tampak sosok manusia yang menunggang unta berjalan mendekat. Al-Nu’man segera memerintahkan untuk membunuh Qurad, namun penasihatnya menyarankan untuk menunggu orang itu mendekat dan dapat dikenali. Raja Al-Nu’man harus menunggu, dan saat lelaki itu mendekat, mereka menyadari bahwa lelaki itu tak lain adalah lelaki Badui yang miskin.

Ketika Raja Al-Nu’man melihatnya, ia menjadi sangat marah.

“Apa yang membuatmu kembali setelah mengatur pelarianmu?” tanya raja.

“Keimanan, Yang Mulia,” jawab lelaki Badui itu.

“Apa sebabnya kau menjadi begitu beriman?” tanya raja.

“Agamaku,” jawab badui itu. “Demi Allah, aku tidak akan mengecewakan Qurad setelah apa yang dilakukannya padaku,” lanjutnya.

Raja Al-Nu’man sangat tersentuh dengan perkataan Badui itu dan berkata kepada dirinya sendiri, "Demi Allah, aku ragu, manakah dari mereka yang lebih tulus dan berani, lelaki yang lari dari kematiannya namun kembali untuk menghadapinya atau lelaki lain yang mengorbankan dirinya untuk menjadi jaminan lelaki pertama. Demi Allah, aku tidak akan pernah bisa menyamai keduanya."

Sejak hari itu Raja Al-Nu’man meninggalkan kebiasaan jahatnya dan tidak pernah membunuh lelaki tak bersalah. Ia menitahkan agar makam Gharini dihancurkan, membebaskan Qurad dan mengangkatnya menjadi panglima perang pasukannya. Sang raja juga memberi lelaki Badui itu seribu unta dan sepuluh ribu dinar. Badui itu berterima kasih kepada raja atas hadiah yang diterimanya dan pulang. Raja Al-Nu’man dan petinggi istana menatap dengan kagum kepada lelaki Badui sampai ia dan untanya hilang di balik bukit gelap yang menakutkan.

Kepustakaan
Khudairi, Arif. 1998. Tales From the Arabian Sahara: The Trip and Other Stories. London: Minerva Press.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama