Gatholoco: Lelaki Sejati

Gatholoco: Lelaki Sejati

Setelah mendapatkan ijin dari Maharaja Suksma Wisesa, Gatholoco meninggalkan kerajaan Jajar untuk berpetualang. Ayahnya memperingatkan putra satu-satunya itu supaya berhati-hati terhadap lawan yang akan dihadapinya, Perjitawati, yang tinggal di gua Terusan. Gatholoco hidup dengan madat, minum dan judi, ditemani punakawannya, Dermagandhul.

Di tengah perjalanan, Gatholoco bertemu dengan tiga guru pesantren yang sedang mengajarkan ilmu agama kepada murid-murid mereka. Para kiai ini meremehkan penampilan Gatholoco: si buruk rupa. Saat mereka tahu namanya, semua tertawa, menganggap nama itu jorok, haram. Gatholoco menerangkan arti namanya: gatho kepala dan loco alat untuk menggosok. “Itulah laki-laki sejati.”

Perdebatan terjadi. Dari soal nama sampai ke masalah ilmu, sifat keilahian, Islam, alam semesta dan lain sebagainya. Akhirnya Gatholoco memenangi perdebatan.

Gatholoco adalah tokoh dalam Suluk Gatholoco, khazanah sastra Jawa klasik yang kontroversial karena dinilai anti-Islam. “Serat Gatholoco ini adalah bentuk sastra peralihan dari masa Majapahit ke masa Islam. Suasana waktu itu menggambarkan betapa banyak orang mengagungkan syariat,” ungkap Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM).

Damardjati tidak setuju jika suluk itu dianggap sebagai sindiran bagi umat Islam. Bagi Damardjati, Suluk Gatholoco adalah pepenget (pengingat) bagi mereka yang mengagungkan syariat. “Semestinya tidak berhenti di sini. Sesudah syariat yang informatif, masih ada bentuk lebih lanjut, yaitu tarekat yang transformatif, hakikat yang konformatif hingga akhirnya berpuncak pada makrifat yang iluminatif, yang mencerahkan,” ujarnya. “Dalam istilah Jawa, Jiwa kang Kajawi mencakup syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Hal ini juga sejalan dengan Serat Wedhatama yang mengulas sembah raga, cipta, jiwa dan rasa.”

Senada dengan Damardjati, Heru Nurcahyo, yang tesisnya di Center of Religious and Cultural Studies UGM tentang Gatholoco dan telah diterbitkan menjadi buku (Jalan Jalang Ketuhanan), menyatakan Suluk Gatholoco sesungguhnya tidak anti kepada Islam dan tidak pula Jawa chauvinistic. “Justru ia ada untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri,” katanya.

Kontroversi

Pada bulan Februari 1872, Carel Poensen, misionaris Belanda yang menghabiskan hampir 30 tahun di Kediri, Jawa Timur, mendiskusikan karya ini dengan beberapa asistennya, orang Jawa Kristen. Bagi Poensen, dari sudut pandang sastra, karya ini kurang berharga. Tetapi menilik dari semangatnya, penulis karya itu menyodorkan konsepsi terkait akhlak dan kebajikan yang sayangnya disampaikan tanpa kearifan dan kesopanan. “Bahkan ia kerap membuat kami muak karena tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal-hal yang paling sepele untuk dipublikasikan, dan dengan cara yang menjijikkan masuk ke detail tentang hal-hal yang tak layak disebutkan.”

Poensen merasa khawatir dengan dampaknya bagi pembaca. Selain vulgar, isinya juga mempermalukan umat Islam; Poensen berusaha agar karya itu tak menyebar ke mana-mana.

Menurut Ricklefs dalam Polarising Java Society: Islamic And The Other Visions 1830-1930, ada dua karya lainnya yang terkait dengan suluk ini serta mengajukan argumen anti-Islam: Babad Kediri dan Serat Dermagandhul. Ketiganya muncul pada dekade tanda-tanda kebangkitan Islam di Jawa, menyebutkan jika konversi agama Jawa ke Islam sebagai kesalahan peradaban. Ricklefs memperkirakan, satu atau lebih priyayi di Kediri menyusun pandangan baru dan tidak lazim mengenai Islamisasi di Jawa pada awal 1870-an.

Belum jelas siapa penulis Suluk Gatholoco dan kapan persisnya suluk itu ditulis. Phillipus Akkeren, misionaris di Jawa Timur, memperkirakan Suluk Gatholoco ini diterbitkan pada 1830 yang isinya mencerminkan reaksi luas dari kalangan kelas melek huruf di Jawa terkait kegagalan kepemimpinan politik Islami Diponegoro. G.W.J. Drewes, seorang orientalis Belanda, melihat kesamaan suluk itu dengan Serat Dermagandul dan Babad Kediri–yang berkisah tentang kejatuhan kerajaan “Hindu-Buddha” Majapahit akibat koalisi Islam yang dipimpin Demak di sekitar tahun 1878. Senada dengan Ricklefs, Benedict Anderson memperkirakan suluk tersebut ditulis pada 1860 atau bahkan pada awal 1870-an berdasarkan deskripsi tentang madat di pedesaan Jawa yang terlihat sesuai dengan keberadaan sistem pertanian-opium.

Suluk Gatholoco beredar dalam bentuk naskah pada 1883 yang pertama kali terbit secara terbatas sebagai buku di Surabaya pada 1889. Ketika terbit, tidak ada reaksi publik yang bermusuhan. Namun, respon tajam muncul ketika pada Januari 1918, surat kabar Djawi Hiswara, organ SI cabang Surakarta, menerbitkan artikel yang memfitnah Nabi Muhammad sebagai pemabok dan pemadat, berdasarkan bagian di dalam Suluk Gatholoco. Sejumlah aktivis Islam yang dipimpin Tjokroaminoto meresponnya dengan membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad.

Muncul pula kecaman dari pers pribumi, unjuk rasa di Surabaya dan 42 lokasi di seluruh Jawa, serta mendesak pemerintah kolonial menuntut editor Martodharsono dan penulis artikel Djojodikoro. Tapi kontroversi itu kemudian mereda digantikan isu lainnya.

Semenjak itu, Suluk Gatholoco beredar di bawah tanah. Tidak ada penerbit yang mau ambil risiko menerbitkannya; takut dicap murtad atau penyebar pornografi.

Pada 1951, Philippus van Akkeren menerbitkan teks utuh Suluk Gatholoco untuk pertama kali, lengkap dengan terjemahan dan analisisnya. Judulnya Een gedrocht en toch de volmaakte mens: A Monster, Yet the Perfect Man, diterbitkan Penerbit Excelsior di The Hague. Di Indonesia, satu tahun sebelumnya, terbit Balsafah Gatholotjo oleh Tanaya (juga ditulis R. Tanojo). Lalu muncul Balsafah Gatolotjo: Ngemot Balsafah Kawruh Kawaskitan karya Prawirataruna, diterbitkan Penerbit S. Mulija, Solo, pada 1958.

Sejak 1963, berdasarkan UU No. 4/PNPS/1963, pemerintah melarang penerbitan dan peredaran Suluk Gatholoco. “Semua bentuk dan versi Serat Gatholoco dilarang pemerintah, karena isinya anti-Islam dan porno,” ujar Heru Nurcahyo.

Lelaki Sejati

Setelah berdebat dengan tiga kiai, Gatholoco melanjutkan perjalanan. Dia menuju Gunung Indragiri dan berjumpa dengan Perjitawati. Kembali dia berdebat dan menang. Akhirnya Gatholoco diundang masuk ke gua, “berhubungan seks” lewat kemampuan puisi metaforanya.

Banyak orang menganggap Suluk Gatholoco lebih nakal daripada Serat Centhini, bahkan porno, karena suluk ini membenarkan dan menganjurkan hubungan seks sebagai salah satu cara “berdialog” dengan Tuhan. Di samping itu, beberapa tokoh di sekitar Gatholoco punya nama yang berkonotasi dengan seksualitas, mulai dari Dermagandhul hingga kelima istri Gatholoco.

Damardjati menyebut serat tersebut bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat yang paling berat adalah seks. “Gatholoco ingin menyampaikan pesan berjenjang, dari tingkat dasar hingga tinggi. Saat ini seks sudah keluar jalur dan digunakan sembarangan,” ujarnya.

Bagi Anderson, aktivitas seksual dalam Suluk Gatholoco memiliki tujuan tunggal: “prokreasi Gatholoco baru, embiro Lelaki Sempurna, siap satu hari menggantikan ayahnya di dalam perang agama di Jawa,” tulisnya dalam “Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics” dalam Language and Power.

Namun, lanjut Anderson, Gatholoco tak cocok dengan model tradisional pahlawan Jawa: prajurit-ksatria yang anggun, resi petapa bijak, Muslim yang saleh ataupun raja yang budiman. Gatholoco dan penulisnya juga sama sekali tak berminat pada daftar dan keberagaman ajaran yang mereka tampilkan.

”Hanya ada satu pengetahuan yang dianggap penting–pengetahuan mistis tentang Lelaki Sejati–dan Gatholoco memaparkan kerumitannya dan mempertahankannya dengan penuh kemarahan dan kasar, kebijaksanaan yang liar dan urakan.”

Kepustakaan
http://historia.id/kuno/kitab-lelaki-sejati

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama