Hasta Mitra: Markas Perlawanan

Hasta Mitra: Markas Perlawanan

Pada tahun 1982, seorang lelaki berkulit putih dan bertubuh tambun dari staf kedutaan Australia, mendatangi sebuah rumah sederhana di Jl. Duren Tiga Selatan Nomor 36. Rumah itu ternyata menjadi “markas perlawanan” terhadap Orde Baru yang didirikan oleh trio Joesoef–Hasjim–Pram.

Joesoef Isak adalah mantan pemimpin redaksi pada Merdeka dan sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, bebas dari penjara Salemba pada 1977 dan menyandang cap “eks tapol”. Hasjim Rahman adalah pemilik harian Bintang Timur, sementara Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang pernah mengasuh “Lentera” pada harian Bintang Timur. Dua yang disebut terakhir kemudian bekerja sama dengan Joesoef untuk mendirikan Hasta Mitra (artinya tangan sahabat) pada 1980.

Dalam buku Liber Amoricum, 80 Tahun Joeseof Isak: Seorang Wartawan, Penulis dan Penerbit, Bonnie Triyana dan Max Lane menyebutkan dalam kata pengantar buku tersebut bahwa Hasjim meminta Joesoef agar mendirikan Hasta Mitra yang sejak di Pulau Buru sudah dimimpi-mimpikan.

Rumah Joesoef pun disulap menjadi kantor. Ruang tamu berubah menjadi ruangan sekretariat, dua kamar pembantu di belakang jadi gudang, dan bekas kamar mandi pemilik lama menjadi ruang redaksi. Joesoef kemudian mempekerjakan beberapa mantan tapol dan dua karyawan profesional.

Novel pertama yang hendak diterbitkan adalah Bumi Manusia karya Pram, ditulis semasa pembuangannya di Pulau Buru. Pram mengumpulkan seluruh berkas yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Dalam waktu tiga bulan Pram berhasil menjalin dan merajutnya kembali. Naskah itu disunting Joesoef sementara Hasjim menangani urusan bisnis.

Untuk menerbitkan novel itu, Hasjim memutar otak untuk mencari dana. Ternyata Hasjim menjual rumahnya di Talangbetutu untuk bisa menerbitkan Bumi Manusia (rumah di Talangbetutu atau Jalan Plaju itu kini jadi tempat penerbit Obor). Bumi Manusia pun keluar pada Oktober 1980. Ternyata respon pasar sangat baik atas novel tersebut. Bahkan, Wakil Presiden Adam Malik, yang mendapatkan buku itu dari Joesoef, memuji Bumi Manusia dan menganjurkan setiap anak bangsa supaya membacanya. Saking larisnya, buku itu pun sudah memasuki cetakan yang ketiga.

Bumi Manusia mengupas gerak sejarah di masa awal kebangkitan nasioal dengan mengambil karakter utama Minke yang adalah sosok Tirto Adi Soerjo, Bapak Pers Nasional. Sebagai tetralogi (dikenal sebagai tetralogi Bumi Manusia atau tetralogi Buru) Bumi Manusia dilanjutkan dengan tiga novel lainnya: Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Namun, ujian pertama datang. Beberapa organisasi pemuda bentukan Orde Baru menggelar diskusi yang mengecam buku tersebut. Media pun ramai memberitakan kontroversi Bumi Manusia. Menyusul terbitnya Anak Semua Bangsa, Joesoef dan Hasjim dimintai keterangan oleh Jaksa Agung. Selama satu bulan, Joesoef rutin ke Jl. Sisingamangaraja, tempat Kejaksaan Agung.

Tak berselang lama, Joesoef ditahan selama enam bulan hanya karena menghadiri acara ceramah Pramoedya yang digelar oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia (UI) pada September 1981. Entah bagaimana, dengan dalih mengandung ajaran Marxisme-Leninisme, pada Mei 1981 Kejaksaan dengan tegas melarang kedua buku itu: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

Satu tahun kemudian, Joesoef ‘mempercayakan’ penterjemahan karya-karya Pram kepada Max Lane, laki-laki berkulit putih dan bertubuh tambun dari staf kedutaan Australia. Max Lane ternyata tidak hanya sekedar menterjemahkan, tapi juga ikut mencarikan penerbit. Max Lane memilih Penguin Book Australia, yang kemudian diambil alih oleh Penguin Book America setelah nama Pramoedya masuk sebagai kandidat penerima hadiah Nobel Sastra.

Akhirnya, This Earth of Mankind terbit dan menjadi salah satu buku best seller pada 1982. Setelah itu, Max Lane menterjemahkan karya-karya Pram yang lain. Karena aktivitasnya, Max dipecat dari pekerjaannya. Karya-karya Pram yang diterbitkan di luar negeri, dalam beberapa bahasa, tidak semalang “saudaranya” di Indonesia; mereka aman beredar.

Di Indonesia, Joesoef pun tak jera. Penerbitannya jalan terus. Kerugian sudah jadi bagian dari jalan cerita penerbit Hasta Mitra. Pada 1985, Hasta Mitra menerbitkan Jejak Langkah dan Sang Pemula. Sekali lagi, Kejaksaan melarang peredaran dua buku tersebut. Hasta Mitra pun menahan diri untuk menerbitkan karya Pram yang lainnya; mereka hanya menerbitkan karya-karya lama seperti Hikayat Siti Mariah dan Cerita dari Blora. Toh, tetap saja dilarang.

Semenjak Mei 1998, keadaannya berubah. Hingga di masa pengujung, setidaknya Hasta Mitra telah menerbitkan 90-an judul buku. Tak semuanya karya Pram, tapi pada umumnya bertema sejarah. Joesoef sendiri tidak bisa melawan usia. Dini hari 15 Agustus 2009 Joesoef menghembuskan nafas terakhir. Bersama kepergiannya, Hasta Mitra kehilangan dua pendiri lainnya, Hasjim Rahman dan Pram yang telah lebih dulu meninggal. Meskipun tidak ada pembubaran resmi, orang-orang yang pernah ikut menjalankan Hasta Mitra memilih jalan masing-masing. ‘Markas’ pertama perlawanan terhadap Orde Baru itu kini kembali sepi; mungkin hanya semangatnya yang masih tersisa.

Kepustakaan
Majalah Historia Nomor 13 Tahun 2013.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama