Bawuk (Perempuan Jawa Ideal)

Bawuk (Perempuan Jawa Ideal)

Cerpen Bawuk pertama kali dimuat pada majalah sastra Horison pada 1970. Lima tahun berikutnya, bersama dengan novelet Sri Sumarah diterbitkan menjadi buku dengan judul Bawuk dan Sri Sumarah oleh penerbit Pustaka Jaya. Bawuk adalah pemudi yang tumbuh di lingkungan priyayi di Jawa Tengah. Ayah Bawuk adalah pegawai pemerintahan kolonial Belanda dan hal tersebut memengaruhi gaya hidup orangtuanya. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Belanda. Tapi dalam waktu yang bersamaan, anak-anak itu juga mendapat pendidikan nilai-nilai tradisional. Para wanita diajarkan agar setia kepada suami mereka dan mendukung mereka sewaktu membutuhkannya. Para pelayan membacakan cerita-cerita kuno orang Jawa kepada anak-anak gadis itu, dan Bawuk sangat terkesan. Menurut sang ayah, Bawuk menghabiskan sebagian besar waktunya bersama pelayan di dapur.

Bawuk lalu keluar dari lingkungan priyayi dan menikah dengan seorang pemuda idealis, Hassan, yang kemudian menjadi propagandis PKI. Bawuk sendiri tidak terlibat aktif dalam dunia politik. Setelah percobaan kudeta di Jakarta tahun 1965, kehidupannya menjadi sulit. Pasukan angkatan darat mulai bergerak menuju Jawa Tengah dan akan menumpas anggota dan simpatisan PKI. Hassan mengorganisir pertahanan kaum tani. Ketika pertempuran pecah, Hassan melarikan diri.

Bawuk mencari Hassan. Bawuk bertemu dengan Jogo dan ditawari ikut bergabung dengan Partai Komunis dengan bekerja secara rahasia. Bawuk setuju dan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika anak-anaknya terlihat menderita karena menjalani hidup secara nomaden, Bawuk memutuskan untuk menitipkan mereka di rumah nenek mereka. Bawuk pun pulang menemui ibunya. Di rumah sang ibu, Bawuk bertemu dengan saudara laki-laki dan perempuannya.

Klimaks kisah Bawuk tercapai saat terjadi percakapan antara Bawuk dan saudara-saudaranya. Mereka berusaha meyakinkan Bawuk agar tetap tinggal di rumah ibu. Bawuk menolak. Ketika dituduh sebagai pengikut Komunis dan sudah berkhianat, Bawuk bingung; yang ia tahu ia istri Hassan dan harus mengikuti suaminya tidak peduli apa pun yang terjadi. Keesokan paginya Bawuk pamit pergi kepada ibunya, hanya ibunya satu-satunya orang yang bisa memahami keadaannya.

Menjelang akhir kisah ini, ibu Bawuk duduk di teras sambil membaca koran. Sang ibu mengajari cucu-cucunya membaca Surat Al-Fatihah. Bagi mereka, hal seperti itu terasa asing. Meskipun mereka asing dengan bacaan Al-Qur’an, tetapi sang ibu menyadari jika zaman baru telah datang. Islam menjadi lebih kuat setelah terjadi pergantian rezim di tahun 1966. Nyonya Suryo merasa perlu membentengi cucu-cucunya supaya mereka tidak menjadi korban “cap buruk” dari masyarakat karena merupakan keluarga Komunis.

Sang ibu memandangi koran yang dipegangnya dan membaca sebuah berita yang menyatakan bahwa pasukan angkatan darat berhasil menumpas Kaum Komunis di Jawa Tengah. Banyak pimpinannya yang mati dan di antara mereka ialah Hassan. Sementara itu, nasib Bawuk tetap tak diketahui: apakah ia tertangkap atau berhasil menyelamatkan diri.

Kepustakaan
Kayam, Umar. 2009. Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama