Kisah Dewa Ruci

Kisah Dewa Ruci

Ini adalah kisah bagaimana Sena, saudara kedua dari lima kakak beradik Pandawa dalam kisah Mahabarata, berusaha menemukan “air kehidupan”. Pihak Kurawa di negeri Amarta ingin memusnahkan pihak Pandawa di negeri Astina melalui guru Durna. Sena, yang juga adalah murid Durna, diberi perintah agar mencari air suci penghidupan di hutan Tikbrasara untuk menggapai kesucian dan kesempurnaan badan. Sena mengikuti titah gurunya dan yakin bahwa gurunya tidak menipunya, meksipun sebenarnya Durna berniat mencelakainya.

Di negeri Amarta, Prabu Suyudana/Raja Mandaraka/Prabu Salya, bersama Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana dan para sentana (pembesar), sedang membahas cara mengalahkan Pandawa.

Durna memberi petunjuk kepada Sena bahwa jika ia telah menemukan air suci itu, dirinya akan mencapai kesempurnaan, paling menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah-ibu, hidup mulia, berada di dalam triloka dan hidup kekal. Air itu berada di hutan Tikbrasara di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka. Sena pamit kepada Druna dan Prabu Suyudana; mereka lalu tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur melawan dua raksasa yang tinggal di hutan itu.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua di sekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang menetap di hutan itu marah dan mendatangi Sena. Meskipun Sena sudah menjelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu tetap mengamuk karena merasa terganggu oleh Sena. Kemudian terjadi perkelahian. Namun kedua Raksaksa itu kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur. Dengan mengalahkan kedua raksasa itu, Sena juga sekaligus telah membatalkan kutukan Batara Guru terhadap mereka. Mereka kembali ke wujud semula sebagai dewa Indra dan Bayu; sebagai ucapan terima kasih, mereka memberi tahu Sena bahwa air suci itu tidak ada di hutan ini.

Sesampainya di Astina, Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya dan Jayasusena, kaget saat melihat Sena pulang dengan selamat. Sena menyampaikan laporan perjalanannya ke hutan Tikbrasara. Druna kemudian berkata kepada Sena bahwa ia sesungguhnya hanya diuji, karena air suci yang dicari sebenarnya ada di tengah samudera.

Suyudana juga meyakinkan Sena jika ucapan Druna benar adanya. Lantaran tekad yang kuat, Sena memutuskan pergi lagi. Walaupun mulai curiga, ia tetap bertekad mencari air itu meskipun harus dibayar dengan nyawanya. Ratapan kakak adiknya tidak dihiraukan. Sebelum menuju ke tempat di mana air itu berada, Sena mampir ke Amarta (tempat para kerabatnya berada). Sementara itu, keluarga Sena, yang mengetahui tipudaya Kurawa, mengirim surat kepada Prabu Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukannya datang ke Amarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna minta para Pandawa tidak bersedih hati, karena tipu daya para Kurawa akan mendapatkan balasan dari dewa. Ketika sedang asyik berbincang, datang Sena yang membuat Pandawa, termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi, Srikandi dan lain-lainnya senang. Namun tidak disangka, Sena tetap ingin mencari air suci itu di tengah samudera. Nasihat dan tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan tidak membuatnya mundur.

Sena pun berangkat, tanpa rasa takut keluar-masuk hutan dan naik-turun gunung, sampai akhirnya tiba di laut. Ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru saja datang, bahwa ia ditipu supaya masuk ke dalam samudera. Angin topan riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat.

Bagi Sena, lebih baik mati daripada pulang menentang sang Maharesi, walaupun sebenarnya ia tidak mampu masuk ke dasar samudera. Sena berpasrah diri, ia tak merasa takut; sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung. Karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan Prabu Kurupati untuk mencari Tirta Kamandanu, Sena menceburkan dirinya ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia memandangi laut dan keindahan isi lautan; kesedihan sudah terkikis. Sena menerawang tanpa batas dan memusatkan perhatiannya tanpa takut bahaya, dengan semangat menyala mencebur ke lautan, tampak kegembiraannya; tidak lupa digunakannya ilmu Jalasengara agar air menyibak.

Alkisah, ada seekor naga besar, pemangsa ikan di laut, berwajah ganas serta liar, bisanya sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sambil menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira akan mati. Ketika merasa tak kuasa meronta, ia teringat kuku Pancanakanya. Akhirnya Sena berhasil membunuh Nemburnaka, nama naga itu; seisi laut kini bergembira.

Sementara itu, Pandawa bersedih sambil menangis dan memohon penuh iba pada Prabu Kresna. Kresna mengatakan bahwa Sena tidak akan mati, bahkan Sena akan mendapatkan pahala dan kesucian dari dewata, mendapat kemuliaan dari Hyang Sukma Kawekas, diijinkan “berganti diri” menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening.

Ketika masih di samudera, Sena bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, Dewa Ruci. Lalu ia berbicara: “Sena, apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada yang bisa dimakan, tidak ada makanan dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, hanya itulah yang saya makan.” Dikatakan pula, “Wahai Wrekudara (Sena), segeralah datang ke sini, banyak rintangannya. Jika tidak mati-matian tentu tak akan bisa sampai di tempat ini; segalanya serba sepi. Tak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati; memang benar di sini tidak mungkin ditemukan. Kau pun keturunan dari Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata; kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal para raja; ayahmu keturunan Brahma, menyebarkan para raja; ibumu Dewi Kunthi, keturunan dari sang Hyang Wisnu Murti. Ia hanya berputra tiga dengan ayahmu: Yudistira anak sulung, yang kedua adalah dirimu dan sebagai penengah adalah Dananjaya. Kedua anak lainnya adalah keturunan dari Madrim: genaplah Pandawa. Kedatanganmu ini adalah atas petunjuk Sang Hyang Druna untuk mencari Air Penghidupan; gurumu memberi petunjuk, itulah yang kau jalani; orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya,” lanjut Dewa Ruci.

Dewa Ruci kemudian berkata, “Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dengan bertanya, atau dengan meniru, demikian dalam hidup ini. Ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning yang dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, apabila ia belum paham akan tempat yang harus disembah.” Wrekudara masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci untuk menerima ajaran tentang Kenyataan. “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku,” ucap Dewa Ruci meminta Sena. Sambil tertawa Sena bertanya, “Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar. Dari mana jalanku masuk, kelingking pun tak mungkin masuk.” Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih, “Besar mana dirimu dengan dunia, seluruh isi dunia, hutan dan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.”

Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Tampaklah laut luas tak bertepi, langit luas, tidak tahu mana Utara dan Selatan, Timur dan Barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampak Dewa Ruci, memancarkan sinar, diketahuilah arah, matahari, nyaman rasa hati.

Berkata Dewa Ruci, “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala, tak tahu namanya. Itulah Pancamaya, ada dalam hatimu, memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidiki rupa itu, sedangkan yang berwarna merah, hitam dan kuning adalah penghalang hati.

“Yang hitam kerjanya marah atas segala hal, murka, menghalangi dan menutupi tindakan baik. Merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari sana, panas hati menutupi hati yang sadar pada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sementara yang putih berarti nyata, hati yang tenang dan suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak abadi, persatuan dari Sukma Mulia.”

Sena kemudian melihat kilatan cahaya memancar, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari; apakah gerangan itu? Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), namun yang dilihatnya adalah yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya ada pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia, dipegang tidak dapat; itulah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tak ikut makan dan minum, merasa sakit dan menderita; apabila berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang bisa merasakan penderitaan, dihidupi oleh sukma; adalah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi sukma yang menguasai segalanya; Pramana apabila mati ikut lesu, tetapi bila hilang, kehidupan sukma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan sukma yang sebenarnya, Pramana Anresandani. Jika ingin mempelajari dan telah didapat, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspadalah pada segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan, tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan lapar, tidak menemui hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak serta bermanfaat, maka peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Sukma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapatkan anugerah yang benar, persatuan manusia (kawula) dan sang pencipta (gusti). Manusia bagaikan wayang, Sang dalang yang memainkan setiap gerak gerik dan berkuasa di antara perpaduan kehendak; dunia adalah panggungnya, layar untuk memainkan panggungnya.

Penerima ajaran dan nasihat ini tidak boleh menyombongkan diri; hayati sungguh-sungguh, karena nasihat merupakan benih. Jika ditemui ajaran ‘sesat’, tinggalkan dan hilangkanlah agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, di mana setiap gerak tentunya merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan; semua sudah ada di manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

Jika sudah paham akan setiap tanggung jawab rahasiakan dan tutupi; yang terbaik, untuk di sini dan untuk di sana, bagai mati dalam hidup, bagai hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanyalah sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

Setelah mendengar ucapan Dewa Ruci hatinya pun terang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapat anugerah wahyu sesungguhnya. Kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci, “Ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tak ada ilmu yang didatangkan, semuanya sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan; kesungguhan hati ada dalam cara melaksanakan.”

Dewa Ruci telah selesai menyampaikan ajarannya, Sena tidak bingung dan semua sudah dipahami. Sena kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya dan hilang kekalutan hatinya; Dewa Ruci telah sirna dari mata. Sena mengingat nasihat yang didengarnya mengenai tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya dan dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

Bertapa tanpa ilmu tentu tidak akan berhasil; kematian seolah dipaksakan melalui kepertapaannya, mengira bisa meraih kesempurnaan dengan tapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkan pikiran, belum tentu mendapat petunjuk nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan cara merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

Guru yang benar mengangkat murid (cantrik), jika memberi ajaran tidak jauh dari tempat duduk muridnya; cantrik sebagai temannya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan untuk keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan bisa seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerakkan, banyak hiasan dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, dan yang melihat adalah pikiran, sementara bumi ini sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan Dalang, bersuara bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada di balik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit terkena tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal muasalnya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang kemudian sebagai rahasia.

Dengan tekad yang sudah sempurna dan penuh semangat, Sena kemudian pulang dan tiba di negerinya. Ketika ditanya Prabu Yudistira tentang perjalanannya, Sena menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi; ada dewata yang memberi tahunya bahwa di lautan itu sepi dan tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, Kresna kemudian berkata, “Adikku, ketahuilah, janganlah lupakan segala sesuatu yang sudah terjadi ini.”

Makna Ajaran Dewa Ruci

Guru Durna memerintahkan Sena menemukan air suci Prawitasari. Kata prawita berasal dari kata pawita yang artinya bersih, suci, sementara kata sari artinya inti. Jadi, prawitasari adalah inti atau sari daripada ilmu suci.

Air suci itu disebut ada di hutan Tikbrasara, di lereng Gunung Reksamuka. Kata tikbra artinya prihatin dan sara berarti tajamnya pisau; makna ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Kata reksa itu berarti memelihara atau mengurusi dan muka adalah wajah; jadi, reksamuka itu adalah mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

Sebelum melakukan samadi, orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. Pada saat samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan pada pucuk hidung.

Pandangan atau paningal sangatlah penting pada waktu samadi. Seseorang yang mendapatkan restu zat yang suci mampu melihat kenyataan, antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya pada saat samadi. Dalam cerita wayang, digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ke tempat suci melalui cahaya suci.

Di hutan, Sena diserang dua raksasa, Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Sena dapat membunuh keduanya, berarti Sena berhasil menyingkirkan halangan agar samadinya berhasil. Rukmuka: ruk = rusak serta melambangkan hambatan yang berasal dari makanan yang enak (kemukten). Rukmakala: rukma berarti emas dan kala adalah bahaya, menggambarkan rintangan yang datang dari kemewahan kekayaan material, seperti pakaian, perhiasan, emas permata dan lain-lain (kamulyan).

Sena tidak dapat melaksanakan samadinya dengan sempurna apabila pikirannya masih dipenuhi kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih; terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Sena bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

Sena akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan, tetapi sebenarnya ada di dasar samudra. Tanpa ragu-ragu ia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang baik semestinya punya hati bak luasnya samudra, yang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Ular adalah simbol kejahatan. Sena membunuh ular itu dalam satu pertarungan seru. Di sini digambarkan bahwa dalam pencarian mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup jika mengesampingkan kamukten dan kamulyan, namun juga harus menghilangkan kejahatan di dalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat berikut:
  • Rila: tidak susah hati jika kekayaannya berkurang, tidak iri kepada orang lain.
  • Legawa: harus selalu bersikap baik dan benar.
  • Nrima: bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
  • Anoraga: rendah hati, jika ada orang yang berbuat jahat kepadanya ia tak akan membalas dan berusaha tetap sabar.
  • Eling: tahu mana yang benar dan salah, senantiasa berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
  • Santosa: selalu di jalan yang benar, tidak pernah berhenti berbuat benar, selalu waspada dan menghindari perbuatan jahat.
  • Gembira: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak/nafsunya, namun merasa tentram, melupakan kekecewaan dari kesalahan-kesalahan dan kerugian yang terjadi di masa lalu.
  • Rahayu: kehendak untuk senantiasa berbuat baik demi kepentingan bersama.
  • Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
  • Marsudi kawruh: selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
  • Samadi.
  • Ngurang-ngurangi: makan hanya ketika telah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak harus tidur di kasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

Setelah mebunuh ular dengan kuku Pancanaka, Sena bertemu dengan Dewa Sukma Ruci yang rupanya sama sepertinya. Sena masuk raga Dewa Sukma Ruci melalui telinga kirinya. Dari dalam, Sena dapat melihat jelas seluruh jagad dan melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini: Sena bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening. Kemudian kedatangan Dewa Sukma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Sena, yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

Dalam paningal (pandangan dari dalam), Sena mampu melihat segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka), jelas dan tidak ada rahasia. Ia menerima pelajaran penting dalam hidupnya bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci dan tidak terpisahkan. Sena telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan disebut juga “hidup dalam mati”. Sena tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mulanya dia tak mau pergi, tetapi dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, bertemu keluarganya dan lain sebagainya.

Sena memakai pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah meraih kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan dan kirana artinya sinar. Sena yang sudah tinarbuka sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat di dalam paningal.

Batik poleng adalah kain batik yang memiliki empat warna: merah, hitam, kuning dan putih, merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainnah. Artinya, Sena sudah mampu mengendalikan nafsunya.

Kata asem menunjukkan sengsem yang artinya tertarik. Sena hanya tertarik pada laku untuk kesempurnaan hidup; dia tidak tertarik pada kekayaan duniawi. Tanda emas di antara mata artinya ia melakukan samadinya secara teratur dan mantap.

Kuku Pancanaka menunjukkan wibawa seseorang yang sudah “mencapai” ilmu sejati melambangkan bahwa ia telah memegang dengan kuat ilmu sejati. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah jauh lebih kuat daripada persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak. Contohnya lima Pandawa bisa mengalahkan seratus Kurawa.

Diolah dari berbagai sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama