Sri Sumarah (Perempuan Jawa Ideal)

Sri Sumarah (Perempuan Jawa Ideal)

Novelet Sri Sumarah, pertama kali diterbitkan tahun 1975, adalah salah satu karya sastra Indonesia modern yang paling banyak dianalisis; novelet ini mengisahkan seorang wanita muda yang diajarkan menerima takdirnya dan tunduk kepada kekuasaan. Ia berasal dari keluarga priyayi yang lebih rendah di Jawa Tengah.

Sri Sumarah dibesarkan neneknya, yang memberitahunya bahwa nama “Sumarah” berarti “Menerima”. Ketika usianya 18 tahun, sang nenek menyiapkan pernikahan Sumarah. Perkawinan mereka berlangsung bahagia. Mereka dianugerahi seorang putri.

Beberapa tahun kemudian, suaminya menjadi pengawas di sekolah dan memakai nama Martokusumo, sebuah nama yang hanya dapat dipakai oleh orang berderajat tinggi. Namun, kebahagiaan itu hilang setelah suami Sumarah meninggal lantaran terserang demam. Untuk membiayai kehidupan dan pendidikan putrinya, Sumarah menambah penghasilannya dengan menjahit.

Pada suatu hari, Tun putri Sumarah pulang dari kota dan mengabari ibunya bahwa ia sedang hamil. Hal itu merupakan bencana bagi Sumarah karena kalimat terakhir yang diucapkan suaminya adalah, “Rawat Tun baik-baik.” Sumarah menikahkan putrinya; ia meminjam uang dengan menggadaikan sawahnya. Sumarah berusaha pasrah sambil percaya bahwa menantu laki-lakinya Yos, punya masa depan cerah. Yos adalah sarjana dan punya hubungan dekat dengan pak camat.

Ternyata Sumarah tak bisa melunasi hutangnya dan ia harus kehilangan sawahnya yang dijadikan jaminan. Yos menyarankan Sumarah agar menyewakan rumah dan sisa sawahnya kepada Barisan Tani Indonesia (BTI). Sumarah tidak mengenal apa itu BTI; ia hanya percaya kepada Yos. Sumarah kini tinggal di rumah putrinya di kota.

Selama pembersihan kaum Komunis berlangsung pada 1965-66, Sumarah banyak mengalami kesulitan. Rumah dan sisa sawahnya disita lantaran disewakan kepada BTI. Yos dibunuh dan putrinya dipenjara. Sumarah berusaha menghidupi dirinya, putri dan cucunya. Persoalannya adalah bagaimana caranya ia mendapatkan uang.

Sumarah tirakat dan bertemu arwah suaminya. Sang suami menyarankan Sumarah agar memanfaatkan bakat alamiahnya dalam memijat. Sumarah setuju dan ia pun membuka praktik pijat. Sumarah kini menjadi tukang pijat dan dihormati. Namun, pada suatu hari, salah satu pelanggannya dari Jakarta mengganggapnya sebagai PSK. Ketika pulang ke rumah, Sumarah meragukan apakah pekerjaan memijat adalah pekerjaan yang pantas. Tapi ia hanya bisa menerima jalan hidup yang telah digariskan untuknya.

Kepustakaan
Kayam, Umar. 2009. Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama