Ada banyak cerita panjang tentang pelarangan buku yang sudah (terlanjur) terjadi di negeri ini…
Di era Reformasi, perkembangan budaya, pers dan media di Indonesia menikmati kebebasan yang cukup besar, bahkan dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan di negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Indeks Kebebasan Pers yang dikeluarkan oleh Reporters Sans Frontières (RSF) mencatat Indonesia di peringkat 101 pada 2009, naik 10 peringkat dari tahun sebelumnya. Ironisnya, kebebasan dalam mengemukakan pendapat yang dinikmati secara luas tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya pelarangan peredaran beberapa buku oleh Kejaksaan Agung di pengujung 2009.
Alasan yang dikemukakan biasanya sebagai tindakan preventif untuk melindungi masyarakat, walaupun tidak jelas perlindungan seperti apa yang ingin diwujudkan. Namun, pada umumnya buku-buku tersebut dilarang beredar karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Pada 2009 misalnya, ada lima buku yang dilarang beredar.
- Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa.
- Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman.
- Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.
- Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan.
- Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.
Dalam hal pelarangan buku, ada tiga sumber hukum yang digunakan Kejaksaan dalam hal melarang peredaran buku di Indonesia. Pertama, UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Menurut pasal satu ketentuan tersebut, Jaksa Agung berwenang melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.
Kedua, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yaitu pasal 30 yang menugasi institusi Kejaksaan untuk mengawasi peredaran barang cetakan, termasuk buku, majalah dan koran. Ketiga, pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen di dalam KUHP. Oleh karena itu, sepanjang peraturan-peraturan tersebut tidak direvisi atau dihapus, pelarangan buku kemungkinan akan terjadi lagi.
Implikasi dari pelarangan buku tentunya cukup luas. Tapi secara umum, implikasi pelarangan buku bisa dikategorikan dalam dua hal: dampaknya kepada demokrasi dan dunia perbukuan. Implikasi terhadap demokras dapat terlihat langsung dalam tiga hal. Pertama, pelanggaran prinsip pokok demokrasi. Kedua, hilangnya prinsip otonomi dan hukum demokrasi. Ketiga, pelanggaran atas konstitusi.
Sementara dari aspek industri, pelarangan buku dapat berpengaruh pada penerbit, distributor, toko buku, penulis dan pembaca. Bagi pembaca, pelarangan buku bisa berimplikasi pada dua hal. Pertama, saluran informasi yang harusnya bisa diakses menjadi terganggu (terhambat atau bahkan tertutup). Kedua, masyarakat pembaca dibodohi oleh pemaknaan tunggal atas ilmu pengetahuan (sejarah) yang beragam versi. Kondisi seperti ini pada gilirannya bisa menjadi pembodohan massal karena daya kritis masyarakat dibatasi dan saluran melihat perbedaan telah ditutup.
Kepustakaan
Yusuf, Iwan Awaluddin [et. al.]. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).
Tags:
Rehat